Mendidik Dengan Husnudzan
Husnudzan dalam bahasa kita dikenal berbaik sangka, artinya kita menilai semua orang yang ada di sekeliling kita itu orang baik. Dalam pendidikan sering kali semangat untuk mengarahkan bersandar pada asumsi bahwa sasaran memiliki kekurangan dan kelemahan, tanpa memperhatikan sisi baik dari sasaran kita, katakanlah para siswa dipandang dengan penuh rasa curiga, sehingga mereka kurang dihargai dan menjadi tumpuan berbagai kesalahan dan kekurangan.
Dalam pendidikan Islam, diperkenalkan sikap husnudzan, artinya mereka para siswa kita beri nilai baik dan memiliki potensi kebaikan yang sangat banyak dari berbagai sudut. Ini langkah awal membangun kesan untuk bisa menjalin komunikasi pendidikan antara pendidik dengan yang dididik.
Melalui tahapan ini akan terbina suasana komunikasi yang positif dan sangat bermanfaat untuk membangun komunikasi berikutnya. Kecurigaan yang berlebihan hanya akan memutuskan jalinan komunikasi dalam lingkungan pendidikan. Akibatnya akan ada jarak antara pendidik dan peserta didik, jarak tersebut akan mengakibatkan kegagalan dalam mendidik.
Kita mengenal istilah encouragement yang berarti dorongan dalam praktiknya untuk memberikan dorongan anak didik agar berperilaku baik dibutuhkan dorongan dan penyemangat, salah satunya adalah dengan husnudzan yang dipakai sebagai upaya mendorong siswa agar lebih baik lagi. Dorongan itu bisa berbentuk husnudzan dari pendidik yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pemberian definisi diri atau citra diri yang baik terhadap siswa yang kita didik. Selebihnya anak diajak untuk berdialog tentang sifat-sifat baik dan usaha mewujudkannya, sehingga nalar mereka bisa menangkap pesan tersebut dan berusaha untuk menggali potensi kebaikan yang ada pada dirinya. Tujuannya tiada lain untuk membangkitkan semangat yang dimilikinya sehingga dia tergerakkan dengan sendirinya untuk menjadi yang terbaik. Dalam bahasa agama dikenal istilah mauidzah hasanah nasehat dan pesan-pesan baik, juga istilah hikmah, yakni sikap bijak dalam mendidik dan mendorong perubahan.
Maka dalam rangka mencapai tujuan pendidikan bangunlah kepercayaan antara keduanya, pendidik mempercayai anak didiknya dan sebaliknya anak didik juga harus percaya kepada pendidiknya. Sebagai pendidik kita harus percaya bahwa para siswa telah memiliki niat baik untuk belajar dan mencari limu, mereka memiliki kesiapan penuh untuk menerima pendidikan. Coba perhatikan dengan seksama wajah-wajah mereka yang memancarkan keinginan dan kesiapan untuk menerima arahan dan informasi yang diberikan oleh para guru. Sisanya bagaimana kita bisa mengolah kesiapan tersebut bisa menjadi potensi dan dorongan bagi kemajuan mereka dalam pencapaian pembelajaran.
Kesalahan dalam menilai anak didik yang berdasarkan pada kecurigaan atau pandangan negatif akan memberi peluang pada siswa untuk bertindak negatif juga, karena mereka merasa tidak dihargai semangat positifnya. Sering kali seseorang bertindak tidak sesuai dengan harapan (kurang baik) bukan arena dirinya katakanlah “nakal” tapi karena merasa kecewa prestasi dan kemampuannya tidak dihargai, karena telah dipandang sebagai anak nakal, dilekatkan pada dirinya sifat nakal, penilaian ini bisa mengakibatkan perilaku anak menantang dan ingin menunjukkan kenakalannya, tapi sebaliknya jika dia diberi sifat “baik” patuh dan lain sebagainya, maka ia akan berusaha menyesuaikan dirinya dengan sebutan yang kita berikan kepadanya. Bukankah Allah SWT telah memberi contoh bagaimana cara mendidik dan mengarahkan manusia? Misalkan untuk memberi perintah atau mewajibkan sesuatu, Allah menyeru mereka dengan sebutan ‘hai orang-orang yang beriman!” artinya keimanan mereka dihargai Allah untuk kemudian arena keimanannya itu mereka memiliki konsekuensi untuk menaati apa yang dianjurkan tersebut. Contoh tersebut terlihat dalam surat Al-Hujrat misalnya yang berisi tata cara tingkah laku dan sopan santun serta strategi bergaul dalam masyarakat, ada 5 ayat yang semuanya dimulai dengan seruan “Hai orang-orang beriman!”
Jadi husnudzan ini berlanjut dengan memilih kata-kata atau julukan kepada sasaran dalam hal ini para siswa dengan julukan yang baik, misalnya hai pintar, hai saleh dan seterusnya. Dengan kata lain memberikan kepada para peserta didik sebuah definisi baik tentang dirinya, menanamkan citra diri yang positif.
Inilah yang dimaksud Imam Ghazali bahwa seorang pendidik harus sabar dan tegar dalam menghadapi siswa. Menurutnya seorang pendidik harus memperlakukan siswa sebagai anaknya, memiliki niat untuk menyelamatkannya dari api neraka akhirat, bukan hanya api neraka dunia, tujuan mengajar untuk tujuan akhirat, tidak dunia. Mengajar dengan cinta dan kasih sayang untuk mencapai tujuan pendidikan.
Selanjutnya seorang pendidik harus mengikuti sunah Rasul SAW. bagaimana Rasul SAW mengajari manusia dengan tulus dan tidak mengajar untuk mencari upah tapi niat lillahi ta’ala, tanpa pamrih duniawi atau kasab, semata-mata karena Allkah SWT.
Seorang pendidik jangan bosan menasihati agar mencari ilmu itu sesuai jenjangnya, tidak ingin cepat-cepat mempelajari ilmu yang tinggi sebelum memulai dari dasar. Menanamkan juga kepada para siswa bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk cari pangkat, jabatan dan persaingan dunia. Hal ini penting dilakukan supaya para santri atau siswa tidak salah niat dalam mencari limu, yaitu lillahi ta’ala.