Filsafat & Sarjana Kambing
Oleh: M. Tata Taufik
Istilah filsafat kambing mulai terdengar penulis di tahun 1980an saat masuk Gontor. Pada kuliah umum pekan perkenalan pak Zar (panggilan akrab KH. Imam Zarkasyi) memperkenalkan istilah tersebut kepada kami para santri; “hidup itu jangan seperti kambing, hanya makan, minum, punya rumah, punya istri dan punya anak, orang yang hidup seperti itu sama saja dengan kambing.” Kira-kira itu pesan sentral dari beliau untuk memberikan penekanan akan pentingnya arti berperan dan bermakna dalam hidup. Dikuatkan lagi dengan hadis yang sangat populer di kalangan kaum muslimin “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.”
Para santri Gontor akan segera tahu maksudnya ketika disebutkan “filsafat kambing” dan ini sangat populer, karena hampir di setiap pertemuan selalu disampaikan oleh para Kiai, sampai sekarang, bahkan menyebar juga di pesantren-pesantren alumni Gontor.
Secara ontologis penulis tidak tahu percis dari mana asal-usul dan siapa pencetus awalnya dari istilah tersebut. Kalau boleh menduga-duga mungkin kembali kepada pemahaman dari QS. 7:179 atau QS. 25: 44 yang menggambarkan kelalaian dan kesesatan manusia karena tidak menggunakan hati nurani, mata, telinga, serta pikiran secara baik sebagaimana mestinya. Bisa juga dikaitkan dengan meniru perumpamaan yang dipakai al-Qur’an dalam membandingkan perilaku manusia dengan binatang. Taufiq Ismail menyajikannya dengan apik dalam puisi “Bermata Tapi Tak Melihat” tahun 1987an yang kemudian dipopulerkan oleh Bimbo.
Di tahun 2017 filsafat kambing tersebut dengan baik divisualisasikan dalam film “Sarjana Kambing” garapan sutradara Agus Elias, cerita dan skenarionya ditulis Haris Suhud. Film yang berdurasi satu jam lebih itu dapat mewakili bagaimana aktualisasi filsafat kambing dalam kehidupan dikaitkan dengan gelar kesarjanaan dan mentalitas serta peran sosial seseorang. Diceritakan Irul seorang anak desa yang menelan biaya kuliah dengan menghabiskan empat hektare sawah dan empat sapi serta mendapat predikat sarjana terbaik, justru malah memilih tinggal di desanya memelihara kambing dan bercocok tanam, meramu pupuk organik dan karenanya tidak pernah bisa akrab dengan ayahnya yang menghendaki agar dia kerja di kantoran, dapat gaji, berpakaian rapi di kota besar. Sementara cita-citanya ingin membangun masyarakat petani dengan mengajarkan ilmu bertani sesuai yang di dapat dari perkuliahan.
Ya, ini gambaran umum masyarakat kita yang menganggap sekolah dan gelar kesarjanaan sebagai modal untuk mencari kerja, sehingga bersekolah dan belajar itu dipandang sebagai kegiatan berdagang, untuk mencari untung dan pada gilirannya mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk biaya sekolah. Mindset tentang pendidikan bagi masyarakat masih terikat dengan pendidikan tempo dulu; masa kolonial, sebagaimana dinyatakan Gus Dur orientasi pendidikan yang menciptakan “kelas kerani.”
Kondisi masyarakat yang “belum siap” menerima kenyataan bahwa sekolah tidak berakhir dengan kerja, terukir juga dalam “Sarjana Muda” milik Iwan Fals sejak tahun 1980an. Tentu saja secara sosial melahirkan penilaian nyinyir bagi sarjana kreatif yang memilih bekerja memanfaatkan ilmu di kampung dan membangun desanya. Sebutan sarjana jualan bubur, pernah juga beredar di kampung penulis, sekolah juga percuma kalau tidak punya tambatan yang bisa dijadikan koneksi pekerjaan, walau sekolah juga tak akan bisa jadi guru, demikian ungkapan yang sering terdengar dalam percakapan masyarakat desa.
Sikap melawan arus dari Irul disebut mental petarung, dan kegilaan, gila dalam arti berani berpikir keluar dari “kotak” pemikiran pada umumnya, para ahli tantang berpikir kreatif menyebutnya out of the box. Dalam Serious Creativity De Bono menyebutkan innocence, experience, motivation, chance, accident, mistake serta madness adalah sumber berpikir yang bisa membangkitkan ide-ide kreatif. Asyiknya dramatisasi filsafat kambing dalam film itu mengangkat tema kepolosan, motivasi dan kegilaan (madness) yang kerap keluar dalam dialog keseharian kita –maksudnya diskusi-diskusi yang sering dilakukan dalam merancang sebuah program atau kegiatan.
Sarjana Kambing mengajarkan arah dari status sosial kesarjanaan kepada peran sosial yang lebih bermakna bagi orang banyak. Keberhasilan diukur dengan karsa dan karya serta peran bagi masyarakat sekitarnya. Sebagai ilustrasi, ketika ditanya sudah bertapa banyak alumni Gontor yang menjadi orang besar? KH. Imam Zarkasyi menjawab: Yang disebut orang besar itu seperti apa? Ukurannya apa? Bagi saya orang yang mau tinggal di desa, mengajar anak-anak mengaji di surau itu orang besar.
Terima kasih kepada Agus Elias dan Haris Suhud yang telah mengedukasi kita semua; menyajikan filsafat kambing yang penulis dengar waktu kecil, menjadi lebih hidup. Karena orang besar itu orang yang mau melakukan pekerjaan “kecil” di mata orang kecil.