• Wejangan
  • Pendidikan Karakter Ala Pesantren

Pendidikan Karakter Ala Pesantren

  • Minggu, 2 Oktober 2022
  • 703 views
Pendidikan Karakter Ala Pesantren

Oleh: M. Tata Taufik

Pengantar:

Pendidikan bagi ummat Islam adalah kegiatan dakwah dan tabligh, kalau dakwah terkonsentrasi pada seruan untuk mengikuti, sehingga berupa ajakan untuk mengikuti sesuatu, sedangkan tabligh berarti menyampaikan informasi, lebih mengutamakan pada kegiatan menyampaikan. Keduanya diperintahkan bagi ummat Islam. Yang pertama berbunyi serulah ke jalan Tuhamu dengan hikmah dan mauidzah hasanah, dan debatlah mereka dengan argumen yang lebih baik. Sedangkan yang kedua diperintahkan wahai nabi sampaikanlah apa yang Kami turunkan kepadamu. Jadi keduanya kalau disatukan menjadi kegiatan yang dilakukan oleh Rasul SAW selama masa kenabiannya: menyeru dan menyampaikan.

Kerangka inilah yang dipakai pesantren dalam mendidik para santri, menyeru ke jalan Allah dan menyampaikan apa yang diajarkan Allah SWT kepada ummat manusia melalui para Rasul-Nya. Kalau disimak secara lebih dekat maka kegiatan menyeru dan menyampaikan ini dalam konteks pendidikan sekarang yang harus dihidupkan kembali agar tidak kering dari nilai-nilai luhur yang disepakati oleh ummat manusia.

Berbagai problema pendidikan terutama yang berkenaan dengan karakter sebenarnya bisa dilihat sebagai produk pendidikan yang lebih berorientasi kepada tabligh, tanpa memperhatikan dakwah; menyeru kepada kebaikan. Dalam bahasa Mahmud Yunus lebih memperhatikan ta’lim dan mengabaikan tarbiyah. Jadi kerangka konseptual tentang pendidikan yang harus dibenahi, sementara ini yang berlaku reduksi konsep pendidikan menjadi hanya pembelajaran/pengajaran saja, tujuannya juga menjadi sebatas kepada pencapaian kemahiran atau kompetensi tertetu yang lebih kepada penyiapan tenaga kerja dari pada penyiapan masyarakat secara lebih umum.

Apa yang dilakukan pesantren dalam mendidik para santri berbeda dengan pendidikan umum yang berlaku secara meluas di luar pesantren. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari tujuannnya, pesantren lebih menitikberatkan pada penyiapan masyarakat dengan mendidik cikal bakal anggota masyarakatnya. Dalam hal ini tidak dicampuri dengan tujuan-tujuan menciptakan pekerja. Jargon yang dapat dilihat misalkan “iman-ilmu-amal” hampir mewarnai konsep pindidikan yang dilakukan pesantren. Kemudian dari situ bisa dilihat dalam aktifitas pendidikannya, katakanlah pesantren salafiyah, yang dilakukan pertama pengajian kitab, untuk menanamkan keimanan dan menambah ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan dengan amaliyah. Potretnya secara visual bisa terlihat bagaimana Kyai mengajarkan ilmunya, lalu mempraktekannya dengan menerapkan langsung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti membawa santri menghadiri pengajian, atau tahlilan, peringatan maulid, serta taziyah dan menyolatkan mayit. Selain juga dipraktekkan bagaimana menghargai yang lebih tinggi ilmunya, menghargai guru dan berkhidmat kepada guru. Itulah pendidikan yang disebut learning by doing.

Perbedaan lain juga dapat dilihat dari segi konsep “mencari ilmu sebagai ibadah” tidak dicampuri dengan “mencari ilmu untuk mendapat ijazah atau sertifikat” walau akhirnya dapat juga, namun pada tataran niat santri telah lebih awal disterilkan dari niatan-niatan yang kering dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain mengajak kepada yang lebih tinggi nilainya dari hanya sekedar mendapat sertifikat. Sebaliknya di luar pesantren belum juga proses pembelajaran dilakukan sudah diinformasikan tentang bagaimana lulusannya, nanti bisa menjadi itu dan ini. Bahwa ijazahnya dapat diterima diberbagai perusahaan, perguruan tinggi dan intansi tertentu.

Untuk melihat pendidikan karakter di pesantren yang dapat dilakukan adalah dengan memotret pesantern sebagai suatu sistem yang utuh. Pertanyaan minimal dalam menggali informasi tentang pesantren tersebut dimulai dengan apa, mengapa dan bagaimana? Ketiga pertanyaan ini bisa diajukan dalam melihat pesantren, metodologi pembelajaran dan materi (bahan ajar) yang digunakan di pesantren. Tulisan ini akan mencoba melihat pendidikan karakter di pesantren dengan memedomani pertanyaan minimal di atas pada tiga fokus pembahasan; pesantren, metodologi dan bahan ajar.

Pesantren Sebagai Lingkungan Pendidikan:

Abdurrahman Wahid membatasi pesantren secara teknis yaitu tempat santri tinggal, Mahmud Yunus menyatakan bahwa pesantren adalah tempat santri belajar agama Islam. Abdurahmman Mas’ud mendefinisikan pesantren sebagai tempat santri menghabiskan waktu mereka untuk hidup dan menimba pengetahuan. Secara lebih rinci pengertian pesantren dikemukakan oleh Imam Zarkasyi (pendiri Pondok Modern Gontor) pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sitem asrama atau pondok, kyai sebagai figur sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.

Jadi pesantren sebagai tempat belajar agama Islam bagi para santri dan tempat mengajar bagi para ustdaz atau kyai. Berarti ada sarana ada kyai/ustadz dan ada santri serta ilmu yang dipelajari. Pesantren muncul sebagai lahan dakwah bagi para kyai dalam menyebarkan ajaran Islam, sebagai medan perjuangan bagi para santri dalam menggali ilmu agama Islam dan bersifat mandiri tidak bergantung pada pemerintahan yang ada –terlebih lagi pada masa awalnya masa kolonial– dan terus terpelihara kemandirian tersebut sampai sekarang. Pesantren lahir secra alami, dimulai dari adanya seorang kyai yang memiliki ilmu pengetahuan agama, lalu berdatangan para santri yang ingin belajar pada kyai tersebut, rumah kyai tidak lagi bisa menampung para santri akhirnya mereka membuat pondokan secara mandiri untuk tinggal mereka, maka jadilah pondok pesantren. Kalau diselidiki proses kelahiran pesantren seperti ini masih tetap berjalan di beberapa daerah, berawal dari mushala lalu berkembang menjadi diniyah dan pondok pesantren.

Sekelompok orang berkumpul dalam wilayah tertetntu dengan tujuan yang sama mempelajari agama, ada yang berperan sebagai masyarakat belajar ada yang berperan sebagai tutor, memiliki aturan main tertentu –baik tertulis maupun tidak tertulis– sesuai dengan visi dan misi yang diemban oleh kyai sebagai sentral figur, pada gilirannya tercipta sebuah lingkungan yang tertata secara rapih dalam pola tingkah laku dan kegiatannya. Belajar, bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, beribadah sebagai wujud pelaksanaan ilmunya, bermasyarakat sebagai bentuk pengamalan ilmu dan pelayanan kepada sesama. Semua terus berlanjut dalam suasana keikhlasan, kesederhanaan, membina persaudaraan sesama muslim, kemandirian dan kebebasan.

Dari sini tergambar sebuah lingkungan yang teratur dibawah bimbingan seorang pemimpin kharismatik yang senantiasa merancang kegiatan, membuat dan memelihara serta mengevaluasi lajunya kegiatan di lingkungannya. Lingkungaan ini membangun sebuah kultur pesantren yang unik dan sangat diwarnai oleh bagaimana kyainya menjalankan keagamaannya, baik dari segi pakaian, sopan santun, bacaan yang dibaca serta pemahaman dan keyakinan yang dianut. Sebagai contoh jika suatu pesantren meyakini penggunaan loud sepeaker itu tidak boleh, maka komunitas pesantren dan lulusan pesantren itu akan memiliki pandangan yang sama. Demikian juga dengan mode pakaian yang khas dipakai di komunitas pesantren tertentu akan mewarnai para alumninya dalam berpakaian. Hal ini memperlihatkan bagaimanma kekuatan lingkungan dan kultur pesantren dalam pendidikan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa semua komponen dan unsur yang ada di pesantren bergerak terus, kyai belajar, mengajar, dan bekerja, santri juga belajar, mengajar dan bekerja,  pengurus juga belajar, mengajar dan bekerja sesuai dengan kapasitasnya masing masing dalam kerangka besar; pendidikan.

Metodologi Pendidikan di Pesantren:

Metode di sini dimaksudkan cara yang dipergunakan di pesantren dalam mendidik para santrinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di sini tidak akan mendiskusikan mengenai metode pendidikan yang dikenal pada umumnya dalam buku-buku ilmu pendidikan. Melainkan akan memotret saja apa yang dilakukan pesantren dalam mendidik para santri. Dengan sangat sederhana bisa dilihat bagaimana kyai memberikan ceramah, mengajarkan kitab yang dibaca secara textual kemudian santri mendengarkan dan mengikuti bacaan yang dilakukan kyai, secara reguler mereka membaca teks kitab tertentu untuk memahaminya. Bila perlu menghafalnya pada teksteks yang membutuhkan hafalan. Pada tahap ini merupakan tahap penyampaian materi bahan ajar. Menurut hemat penulis baik berupa kegiatan sorogan atau wetonan, ada juga pasaran pada dasarnya sama menyampaikan bahan ajar sesuai dengan materi kitab tertentu. Tahapan penyampaian materi ini diberikan penguatan-penguatan dalam bidang aplikasinya melalui berbagai kegiatan ceramah yang disampaikan kyai lalu yang bersifat amaliyah diwujudkan dengan tindakan nyata yang dilakukan kyai melibatkan santri.

Jadi berbagai materi yang disampaikan senantiasa digandeng oleh kegiatan yang mendukung pelaksanaan dari materi tersebut dalam kehidupan nyata. Berkenaan dengan ibadah misalkan selain mempelajari fiqih juga diberlakukan kultur shalat berjamaah, kyai dan santri senior menjadi imamnya. Demikian juga yang berhubungan dengan kegiatan kebersihan, atau kegiatan sosial. Kyai atau tutor tampil di depan melakukan apa yang ingin ditransfer kepada santri untuk melakukannya. Sebagai ilustrasi, Tgh Hasanain Juwaini di pesantren Nurul Haramain Narmada Lombok berkisah, bahwa dia membuang sampah sendiri pada awalnya, dan harus berjalan menarik gerobak sampah sepanjang 1 km. Lalu kemudian dibantu oleh para santri, para wali santri protes tidak rela anaknya yang putri itu ikut serta menarik gerobak sampah. Kemudian dikumpulkanlah wali santri dan kepada mereka diminta agar mengumpulkan kantong plastik sampah yang besar, sehingga setiap santri menyimpan sampah yang diproduksinya ke dalam kantong tersebut, dan membawanya pulang jika libur kerumah masing-masing. Nyatanya mereka tidak mau, tutur pimpinan pesantren yang giat menanam pohon itu. Akhirnya mereka menerima kebijakan pesantren yang mengharuskan santri menyelesaikan sampahnya sendiri secara mandiri (Ceramah Hasanain 5 Jan 2014).

Secara singkat dapat dilihat bahwa pesantren mendidik santrinya dengan keteladanan kyai, guru atau ustadz dalam melaksanakan ajaran yang diajarkannya. Secara metodologis dapat dikatakan berbagai metode dakwah diterapkan di pesantren. Mulai dari metode hikmah adalah metode meletakkan sesuatu pada tempatnya atau keadilan. Metode  mauidzah hasanah, yang secara  etimologis berarti menasihati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, berarti juga menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Metode Qudwah hasanah yakni memberi contoh atau teladan untuk melakukan sesuatu yang baik. Serta mujadalah bil-ahsan; kemampuan memberi argumen yang pasti dan kuat. Semua ini terlihat dari kisah yang diungkap di atas.

Beruntung sebelum menulis artikel ini penulis berkesempatan mengunjungi beberapa pesantren, seperti pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur, Nurul Bayan di Bayan Lombuk Utara, Nurul Haramain narmada Lombok, serta pesantren al-Muwahidin di kediri Lombok.  Untuk melihat metode pendidikan pesantren baik diceritakan di sini apa yang dilakukan dipesantren Tremas, pada saat beberapa pimpinan pesantren berkunjung untuk suatu acara, pimpinan pesantren meminta para tamu untuk menghadiri majlis (istilah yang dinamakan mereka) karena menurut pimpinannya, sudah menjadi tradisi (amanat dari pendiri pesantren) jika ada tamu para masayikh (maksudnya para kyai) salah satu dari mereka diminta untuk memberikan tausiyahnya di hadapan para santri. Setelah disambut marhabanan dan shalawat maka salah satu dari tamu tersebut memberikan tausiyahnnya, dan usai acara para santri berebut untuk musafahan (menyalami para tamu). Selain itu yang unik ditemukan adalah bahwa sandal atau sepatu para tamu sudah rapih berjejer sesuai pasangannya. Hal ini juga ditemukan di pesantren Nurul Bayan Lombok. Dari kisah ini dapat dipahami bahwa setiap pesantren memiliki metode tersendiri dalam hal penguatan materi pembelajaran dengan memanfaatkan tamu tertentu untuk memberikan penguatan tersebut.

Konten Bahan Ajar Pesantren:

Semua pesantren mengajarkan materi yang sama yaitu pelajaran agama Islam, perbedaan terletak pada kitab apa yang diajarkan serta level kitab-kitab apa saja yang diajarkan di suatu pesantren, serta bagaimana mengajarkannya. Kitab yang diajarkan merupakan suatu rangkaian ajaran Islam yang disusun penulisnya berdasarkan hasil kajian atas kebutuhan ummat menurut penulisnya. Baik kitab fiqih ataupun hadits misalnya telah disusun berdasarkan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Sehingga bab per bab disusun berdasarkan kebutuhan dasar bagi seseorang menjadi muslim yang baik. Berbagai intisari ajaran Islam juga disajikan dengan berbagai diskusi dan pendapat para ulama mulai dari yang paling sederhana sampai pada masalah-masalah yang sangat sulit. Selain itu juga pesantren mengajarkan tafsir al-Qur’an serta kitab-kitab hadits, disamping bahasa Arab sebagai dasar untuk memahami kitab-kitab berbahasa Arab.

Secara pengelompokan keilmuan pesantren mengajarkan al-Qur’an dan tafsirnya, al-Hadits, fiqih, tauhid atau aqidah serta akhlak dan tasawuf serta ilmu-lmu kebahasaan yang dikenal dengan ilmu alat. Program pembelajarannya mengikuti apa yang disajikan kitab-kitab yang bersangkutan, jadi targetnya adalah menyelesaikan mengaji kitab tertentu dibawah bimbingan kyai.

Kalau disimapk materi ajar pesantren merupakan ajaran yang diambil dari suatu yang memiliki nilai luhur, yang sudah barang tentu mendapat penghargaan tinggi di mata para santri yang ingin mempelajarinya. Paoint ini sudah merupakan modal tersendiri bagi pesantren untuk melaksanakan pendidikannya. Karena apa yang diajarkan sudah diyakini bermanfaat dan patut dipelajari. Yang tersisa bagi para kyai adalah memberikan penekanan-penekanan dan penguatan pada titik-titik tertentu sehingga apa yang dipelajari santri itu benar-benar melekat dan dapat diamalkan dalam keseharian mereka.

Teori Propetik Pendidikan Karakter:

Karakter adalah kwaltitas moral, kwalitas mental, serta kwalitas kekuatan seseorang dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapinya. Jadi kata karakter sangat erat berhubungan dengan kwalitas, manner (tata cara tingkah laku) mentalitas (cara berpikir dan bersikap) yang dalam bahasa agamanya disebut akhlakulkarimah atau prilaku yang mulia.

Akhlak mulia dalam Islam merupakan salah satu misi yang diemban Rasul SAW. Dalam pernyataannya beliau sampaikan “aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Ini artinya bahwa prilaku dan norma kebaikan sebenarnya telah ada dimiliki oleh setiap bangsa, hanya saja perlu penyempurnaan, seperti penggunaanya, niatnya, dan pelaksanaannya. Inilah peran agama pada gilirannya untuk membangun tatanan masyarakat yang berakhlak mulia. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW selalu menjadikan kebaikan akhlak sebagai ukuran  kwalitas iman. Lihatlah ungkapan “tidak ada yang berat timbangannya di akhirat nanti selain akhlak mulia.” “tidaklah sempurna iman seseorang sampai ia menghendaki orang lain sesuatu yang ia sendiri ingin mendapatkannya.” “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” Dan banyak lagi teori moral lain yang diungkapkan oleh rasul SAW. Penulis menyebutnya teori moral atau akhlak, karena dari situ bisa ditarik berbagai metode untuk membangun karakter dan moral masyarakat.

Para penulis Arab meyakini bahwa karakter asli bangsa Arab adalah jujur, berani, dermawan, sabar dan kokoh serta gigih dalam memperjuangkan sesuatu, serta menjungjung tinggi kemuliaan. Ini menunjukkan bahwa setiap bangsa pada dasarnya telah memiliki karakter yang dapat dipandang baik, dan sisanya tinggal menyempurnakannya sesuai dengan ajaran-ajaran ilahiyah yang tujuannnya tiada lain untuk kemaslahatan ummat manusia juga.

Problematika pendidikan karakter yang dihadapi oleh berbagai bangsa saat ini jika dihubungkan dengan pernyataan di atas, maka bisa dipahami sebagai krisis dalam penanaman nilai-nilai kemuliaan bagi generasinya. Jika setiap bangsa memiliki nilai-nilai luhur yang baik dan patut dianut oleh semua warganya kenapa bisa muncul berbagai problema sosial yang dihubungkan dengan karakter? Artinya ada sesuatu yang hilang dari bangsa ini, yakni kurangnya perhatian setiap komponen bangsa terhadap karakter mulia yang dianut dan dikembangkan. Boleh jadi karena pergantian ukuran kesuksesan dan kemuliaan dari yang bersifat maknawi kepada yang bersifat bendawi. Kalau ini masalahnya maka harus ada upaya pemalingan arus, meninjam istilah F Capra “titik balik” untuk melihat lajunya peradaban sekarang dan melihat apa-apa yang luput dari perhatian manusia pada umumnya dewasa ini; akhlakul karimah.  Dalam hal ini yang diperlukan adalah menggali karakter baik yang diyakini, lalu membangkitkan penyebarannya terutama oleh pihak keluarga serta lembaga pendidikan dan masyarakat secara lebih luas.

Kalau diperhatikan lajunya peradaban manusia bercirikan semakin menjauh dari nilai-nilai luhur dan akhlakulkarimah, apa yang dipikirkan apa yang diproduksi, apa yang dipasilitasi melaju tidak ke arah kemaslahatan sosial melainkan sebaliknya—tanpa bermaksud mendiskusikan secara detail. Sedangkan ciri gerakan peradaban yang dibangun para nabi adalah usaha pengembalian nila—nilai luhur yang semakin ditinggalkan oleh peradaban produk manusia pada umumnya. Keduanya berjalan saling berlawanan. Yang satu menuju ke arah kehancuran yang satu menuju ke arah perbaikan. Siklus ini yang harus dipahami, ketika berhadapan dengan laju ke arah kehancuran, harus ada sekelompok orang yang bekerja untuk memperbaikinya. Islah mungkin kata yang tepat untuk gerakan perbaikan ini.

Dalam konteks ini maka para intelektual, para ulama dan pendidik harus tampil ke depan sebagai pewaris yang melanjutkan misi kenabian, menentukan arah lajunya  peradaban ke arah yang lebih baik. Apa yang dimaksud dengan pendidikan harus berorientasi kepada pembentukan karakter dan berujuan jauh untuk membangun masyarakat yang brkarakter. Terutama bidang pendidikan, sejak awalnya kelahiran pendidikan bertujuan menyiapkan generasi yang baik, tidak direduksi pada penguasaan hal-hal yang tidak perlu dan bersifat teknis, sementara mentalitas dan karakter diabaikan. Mentalitas dimaksud adalah cara pandang dan berpikir yang baik sejalan dengan cita-cita awal terciptanya tatanan sosial yang secara ideal bisa disebut baldatun thayyibatun wa rabbun gafuur.

Bagaimana Pesantren Mendidik Karakter?

Sebagaimana diungkap diawal tulisan ini bahwa pesantren tampil sebagai medan dakwah, meyebarkan dan menanamkan ajaran Islam kepada khalayak kaum muslimin yang sudah melapangkan dadanya untuk menerima ajaran Islam. Tentunya langkah-langkah yang ditempuh juga merupakan langkah dakwah, serta metodenya disarikan dari al-Qur’an dan al-sunnah serta metodologi dakwahnya para ulama yang biasanya disampaikan secara turun-temurun antara generasi. Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah ? ( QS:2:138 ).

Untuk menggambarkan pendidikan karakter di pesantren memang tidakalah mudah, karena alasan tersebut maka penulis akan mendiskipsikan saja apa yang dialami penulis selama di pesantren serta pengalaman selama kurang lebih 20 tahun mengelola pesantren, ditambah hasil pengamatan beberapa pesantren yang pernah penulis kunjungi.

Pertama penyampaian informasi dan evaluasi berkesinambungan. Masih segar dalam ingatan ketika pertama penulis masuk pesantren, saat mendapat kamar di asrama, setiap malam selepas shalat magrib, kita mendengarkan berbagai pengumuman, dilarang berbelanja di warung-warung orang kampung, dari situ kita dikenalkan dengan aturan komunitas, setelah itu, bangun subuh, kita sudah dibangunkan saat dini hari, ketika terdengar suara bacaan-al-Qur’an berkumandang di menara mesjid setinggi 45 m. Dengan berat kita ikut bangun berebut antri ke kamar mandi dan seterusnya. Seusai shalat subuh diharuskan baca al-Quran. Ada beberapa pengumuman juga disampaikan tentang tata cara hidup di pesantren oleh kakak-kakak pengurus asrama. Melihat pakaian kotor kita mulai belajar mencuci, pengalaman yang menarik ketika pertama kali penulis mencuci di pesantren. Karena berasal dari kampung, biasa mandi dan mencuci di kali, setelah mencuci semua pakaian tercuci hingga yang tersisa cuma handuk, dengan hanya berlilit handuk biasa kita di kampung pulang membawa cucian untuk di jemur. Kebiasaan tersebut terbawa ketika awal dipesantren penulis melakukan hal yang sama, sampai akhirnya ketemu santri senior, dia mengingatkan, nanti kalau habis mandi dan mencuci harus berpakaian lengkap, jangan pakai handuk begitu.

Dari cerita di atas ada beberapa hal yang dapat dicermati, pertama penyampaian informasi, kedua evaluasi atas pelaksanaan informasi. Jika aturan yang dikomunikasikan nampak belum dijalankan maka ada evaluasi berupa peringatan atau teguran. Inilah yang disebut pendidikan. Karena ketatnya sistem evaluasi, maka para santri dituntut untuk peka dan tanggap terhadap informasi yang disampaikan, karena kalau ketinggalan informasi akan berakibat pada teguran.

Dari kisah tadi juga bisa dilihat bagaimana proses pendidikan mulai berlangsung bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, lalu memulai kehidupan secara mandiri yang sama sekali berbeda dengan kondisi di rumah. Ada tanggungjawab mulai muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi; merapihkan lemari, menyusun pakaian, mencuci pakaian, piring, sepatu dan kebutuhan lainnya termasuk belajar makan apa adanya, tidak cengeng dan penuh semangat.

Pendidikan seperti ini semua sudah mulai didapatkan jauh sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, proses belajar sudah mulai berlangsung di luar kelas. Artinya belum juga kegiatan belajar mengajar secara formal dimulai tapi udara belajar sudah mulai terhirup.

Prakondisi pembelajaran secara formal dilanjutkan dengan kuliah perkenalan, biasa disebut ta’aaruf atau pengenalan kampus yang diisi berbagai kegiatan partisipatif dari para santri termasuk santri baru, dilanjutkan dengan kuliah umum oleh pimpinan pondok. Selain ikut berperan aktif dalam berbagai kegiatan, juga para santri diberi pengarahan tentang tata cara hidup di pondok, tujuan datang ke pondok, apa yang dicari di pondok pesantren, bagaimana suasana kehidupan di dalamnya dan seterusnya.

Proses ini menurut hemat penulis bisa dikatakan sebagai pra kondisi belajar, pada tahapan ini santri diluruskan niatnya, diingatkan bahwa thalabul imli itu wajib, bahwa problematika terbesar ummat Islam adalah kebodohan, bahwa tujuan datang mereka ke pondok adalah untuk ibadah, thalabul ilmi, bahwa mereka datang untuk mencari ilmu dan pendidikan bukan yang lain, termasuk bukan mencari ijazah.

Kedua dari segi metodologi pesantren berkeyakinan bahwa penanaman karakter atau akhlak tidak cukup dengan kata-kata. Bahwa pendidikan karakter itu dilakukan dengan pembiasaan, keteladanan dan bimbingan serta arahan. Maksudnya bahwa karakter baik itu bisa dikenalkan melalui serangkaian kegiatan secara empirik. Dialami langsung oleh santri, kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dari rahasia di balik semua kegiatan tersebut. Contoh kecil, sebagian penyelenggara pendidikan di negri ini kurang menjalankan praktek hukuman dan penghargaan atau hadiah. Di pesantren sebaliknya dibuat aturan atau disiplin yang intinya membuat lingkungan belajar dan lingkungan pendidikan. Jika disiplin itu dilanggar oleh santri maka santri tersebut berhak mendapat sangsi atau hukuman. Sebaliknya terhadap santri yang taat akan aturan secara kelompok atau perorangan mereka juga mendapatkan hadiah atau penghargaan. Misalkan kamar paling rapih, paling bersih atau santri terbanyak mengunjungi perpustakaan dan lainnya bisa mendapat penghargaan.

Catatan, dalam hal memberikan hukuman terhadap pelanggar disiplin, tidak dilakukan begitu saja, ada nilai pendidikan yang tetap dipegang secara teguh. Kepada pelanggar ditanyakan apa kesalahannya, jika sudah mengakui kesalahannya ditanya mengapa melakukan itu, jika sudah dijawab masih ditanyakan apakah siap untuk disangsi, kemudian diajukan opsi hukuman apa yang siap dia terima, jika sudah memilih bentuk hukuman apa yang diterima, masih ditanyakan juga apakah ikhlash menerimanya, kalau sudah ikhlash baru sangsi itu dierikan. Dalam proses ini juga diberikan beberapa nasihat dan pembinaan.

Nilai pendidikan dari proses pemberian hukuman ini antara lain penanaman akan nilai-nilai sosial bahwa pelanggaran aturan harus menerima sangsi, bagaikan orang yang salah dalam mengetik maka kesalahan itu harus diperbaiki. Selanjutnya penanaman karakter –yang ini sulit kalau tidak terlatih—berani mengakui kesalahan. Pelajaran lain adalah penanaman mental siap untuk diperbaiki jika bersalah atau dinilai salah oleh norma yang disepakati. Dan setelah siap diperbasiki maka hukuman sebagai upaya perbaikan ditawarkan secara bergaining sesuai dengan derajat berat dan ringannya aturan yang dilanggar.

Dari sini terlihat bahwa proses pendidikan karakter berjalan di luar kelas dan merupakan bagian dari kehidupan komunitas pesantren yang penghuninya tiada lain adalah masyarakat pendidikan; kyai, ustadz dan santri.

Ketiga berkenaan dengan materi atau bahan ajar pendidikan karakter pesantren. Pada tahap dasar diajarkan kepad  santri ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan akhlak mulia, berhubungan dengan tingkah laku yang dianjurkan oleh Islam, kalau di pesantren dengan kurikulum Gontor biasanya masuk dalam pelajaran tafsir kelas 1. Materi hadits juga diambilkan hadits-hadits yang bertemakan tata kelakuan yang harus dihapal dengan rawinya. Ini juga dikelompokan dalam mata pelajaran hadits kelas I. Selain kedua materi tadi diberikan juga pelajaran mahfudzat (hapalan) yang diambilkan dari hadits atau kata-kata hikmah para ulama yang harus dihapal dan dihubungkan dengan siatuasi dan kondisi penerapannya dalam kehidupan. Pada tingkatan yang lebih tinggi, kelas II biasanya diberikan pelajaran muthalaah, semacam materi wacana atau text reading yang tema-temanya berisikan pendidikan karakter. Kisah-kisah hikmah yang sengaja dipilihkan dari buku bacaan (di Gontor diajarkan qiraah rasyiidah terbitan Mesir) sebagai silabusnya yang diajarkan sejak kelas I sampai kelas V. Adapun pelajaran hadits pada kelas III ke atas dikaji kitabu al-jaami dari bulughulmaram, yang berisikan materi-materi akhlak.

Keempat kegiatan latihan pidato sebagai pendidikan karakter. Dengan bermodalkan materi-materi akhlak yang didapat dari berbagai mata pelajaran di atas, selanjutnya ada proses pemantapan yang dilakukan oleh santri sendiri melalui program latihan pidato. Dengan kegiatan ini santri berlatih menulis teks pidato yang bahannya merupakan pengembangan dari pelajaran yang didapat di kelas baik tafsir, hadits maupun mahfudzat. Setelah mereka mengetahui suatu pernyataan baik dari ayat al-qur’an ataupun hadits dan yang lainnya, mereka mencoba menginterpretasi pernyataan tersebut dan dihubungkan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Ini merupakan proses belajar lanjutan yang dilakukan diu luar jam pelajaran dan mereka secara mandiri berlatih untuk berekspresi, memotivasi diri dan khalayak serta menyajikannya dalam bentuk penyajian lisan/pidato. Di sini ada latihan mengumpulkan data, mengorganising data dan menyajikannya. Melalui latihan seperti ini santri dididik untuk bisa menganalisis realitas, memposisikan dirinya sebagasi orator atau sebagai penganjur kebaikan, yang berarti juga proses internalisasi ajaran atau karakter baik yang ia dapat.

Kelima program santri mengajar sebagai pendidikan karakter, bagi santri senior biasanya sekitar kelas V dan VI mereka diberi kesempatan untuk mengajar pelajaran tambahan sore hari –antara pukul 14-15. Ini juga memiliki nilai pendidikan karakter, mereka dibiasakan untuk bersikap sebagai orang dewasa, bertanggungjawab mengajar, berpakaian rapih dan bertindak sebagai guru; mulai dari membuat persiapan mengajar, mengoreksikannya kepada guru pembimbing, mengajarkan dan mengoreksi. Pendek kata mereka benar-benar secara empirik merasakan sebagai guru dengan segala kewajiban dan kriterianya. Melalui proses ini dengan sendirinya karakter sebagai pendidik bisa tertanam dalam jiwa para santri. Selain mengajar dapat ditambahkan juga pemeranan santri untuk bertindak sebagai khatib jum’at dan imam shalat berjamaah yang tidak kalah pentingnya dalam mendidik karakter santri.

Keenam pendidikan keorganisasian sebagai pendidikan karakter, di pesantren santri berkesempatan untuk menjadi pengurus organisasi santri mulai dari level kelas, kamar, asrama sampai kepada level pondok. Mereka berperan untuk mengatur, memimpin, mengevaluasi, merancang dan menggagas suatu kegiatan. Mereka juga aktif terlibat dalam berbagai kepanitiaan. Ini menanamkan karakter dan mental sebagai pemimpin. Inilah saat mereka mempraktekkan pengetahuan yang didapat, berbagai metode yang dikenal dan teori yang diketahui dalam dunia nyata. Melalui peran ini mereka belajar bertanggungjawab, mengambil keputusan, merancang dan mengarahkan, hingga pada gilirannya nanti menjadi pribadi yang tidak saja hanya siap memimpin, tapi siap juga untuk dipimpin.

Ketujuh kerja bakti, pesantren seperti diungkapkan di awal tulisan ini dibangun oleh santri, jadi para santri enantiasa terlibat dalam berbagai pekerjaan pembangunan di pesantren. Ini walaupun sudah ada pekerja dan tukang yang melakukannya, tapi dalam titik tertentu dari pembangunan mereka dilibatkan misalkan dalam proses pengangkutan bahan material atau pengecoran. Hal ini tetap dipelihara oleh pesantren supaya mereka memiliki tanggungjawab sosial, merasakan perjuangan dan merasakan beramal dengan ikhlash, dan hasilnya menjadi kenangan sendiri bagi santri; kalau dia berperan serta aktif dalam pembangunan suatu gedung. Selain dalam pembangunan juga dalam pemeliharan sarana para santri aktif terlibat.

Kedelapan kuliah umum tentang etiket, kegiatan ini biasa disampaikan oleh pimpinan pondok atau kyai setiap menjelang liburan di pesantren-pesantren yang semisal dengan Gontor. Pada kesempatan ini kyai menyampaikan berbagai macam norma dan tata kelakuan yang berlaku di msayarakat. Mulai dari kesopanan umum, kesopanan berjalan, berbicara, berpakaian, menghadiri suatu acara atau pertunjukkan, sampai tata cara berterima kasih dan mohon maaf. Selain disampaikan juga cara mengisi waktu yang baik dan bermanfaat. Pelajaran ini –sebagai mana yang dirasakan penulis—sangat berarti dan berbekas dalam kehidupan sehari-hari.

Kesembilan penguatan yang dilakukan oleh kyai dalam berbagai kesempatan, ini sangat besar artinya dalam pendidikan karakter, penekan pada perjuangan /mujahadah, keikhlasan, pentingnya ilmu atau harus cinta ilmu, selalu belajar, jangan cepat merasa puas, jangan malas serta serentetan karakter seperti berani diuji, berani mencoba, jangan takut salah, harus bisa menolong/membantu jangan hanya minta dibantu, harus jujur, bisa memilah mana yang panting dan mana yang kurang penting dan seterusnya. Penguatan-penguatan seperti ini biasanya dilakukan oleh kyai pada kesempatan tertentu. Seperti saat menjelang kerja bakti, saat pembukaan ujian dan penutupannya, pengarahan pada suatu program seperti pengarahan bagi pengajar sore dan pembimbing muhadloroh (latihan pidato), pengarahan khatib dan imam, pengarahan fathul kutub, pekan perkenalan, wejangan menjelang liburan, wejangan khataman bagi kelas VI dan berbagai sambutan serta evaluasi kegiatan seperti laporan pertanggungjawaban pengurus organisasi. Hal ini dilakukan secara rutin setiap tahun ajaran.

Pola penguatan materi pada pesantren salafiyah selain dengan berbagai wejangan dan nasehat oleh kyai juga dilakukan dengan mengajak santri menghadiri berbagai pengajian dan ceramah keagamaan dalam berbagai kesempatan seperti peringatan maulid, isra mi’raj, dan lainnya.

Kesempuluh berhubungan dengan wibawa dan kepercayaan. Masalah wibawa dipesantren sangat diperhatikan sebagai modal bagi para pendidik. Kepercayaan santri terhadap kyai dan pendidikan yang dijalankan juga sebagai modal dalam pendidikan. Tidak mungkin pendidikan bisa berjalan tanpa adanya kepercayaan dari santri sebagai peserta didik. Untuk itu pesantren dan aturannya harus berwibawa, kyainya berwibawa, ustadz dan para pengurusnya juga harus berwibawa, ujian yang diselenggarakan juga harus berwibawa.

Kata wibawa mengandung arti pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.  Seorang disebut berwibawa jika ia disegani dan dipatuhi. Jadi medan makna kata “wibawa” erat sekali dengan kepemimpinan, tingkah laku, daya tarik, kepatuhan dan rasa segan, hal ini pula bisa dijadikan alat ukur kewibawaan.

Para pendidik masa klasik memiliki cara sendiri untuk mengatur pola hubungan guru-murid. Misalkan sebelum lebih jauh melangkah dalam proses transfer pengetahuan, mereka mengajarkan terlebih dahulu pedoman pergaulan antara guru-murid, sebut saja buku Ta’lîm al-Muta’alim yang berisi tata kelakuan murid terhadap guru dan tata cara mempelajari ilmu. Seperti halnya al-Gozli juga memandang perlu menuliskan adab al-mu’ta’alim dan adab al-mu’alim (kode etik murid dan kode etik guru) di bagian awal bukunya yang populer Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Dari sepuluh point tetang kode etik murid misalnya dia menyatakan bahwa murid harus tidak sombong terhadap guru dan patuh atas apa  yang diperintahkannya.

Adapun dari sudut kode etik guru ada delapan point yang diajukan Gozali, dalam konteks tulisan ini dapat dikemukakan tiga di antaranya: pertama seorang guru mengajar harus dengan cinta dan kasih sayang, menganggap anak didik sebagai anaknya sendiri. Kedua harus senantiasa memberi nasihat terhadap muridnya. Ketiga senantiasa mengingatkan dan memberi sangsi terhadap murid yang melanggar aturan serta berprilaku kurang baik dengan teguran yang menyenangkan, tidak mencemoohnya atau memakinya dengan teriakan.

Pesantren mengamalkan apa-apa yang dilakukan para pendidik klasik tersebut yang intinya  children ore our business; pembentukan dan penciptaan pribadi yang berkarakter; mendidik sama dengan merubah tingkah laku menuju ke arah yang lebih baik.

Penutup:

Islam mengajarkan bahwa manusia terlahir dengan fitrahnya yang bersih, bagaikan kertas putih yang siap ditulisi atau digambari dengan berbagai gambar dan tulisan sesuai kemauan orang tua (pendidikan?).

Pendidikan sebagaimana diungkap Mahmud Yunus adalah upaya dilakukan orang dewasa dengan sengaja untuk memengaruhi anak dengan berbagai macam pengaruh yang sengaja dipilih untuk membantu perkembangan anak dari segi fisik, akal dan tingkah laku agar secara bertahap dapat mencapai kesempurnaan. Maka untuk mendidik karakter baik harus dilakukan oleh orang yang berkarakter, pendidikan (lembaga dan sistem) yang berkarakter, teori dan metodologi yang juga berkarakter, serta lingkungan yang berkarakter.

Al-ikhlash, Selasa, 21 Januari 2014

Penulis: Redaksi

Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas.